Belokan itu ia namai Tikungan Daha. Letaknya di jalan logging yang mendaki ke arah bukit. Kiri kanannya lereng yang terjal. Ia namai demikian karena sejak pertama kali melintasi jalan itu, mata Rudi telah tertambat pada sosok tinggi besar yang berdiri kokoh di dekat jalan, agak terpisah dari lainnya. Pohon Daha. Sejak itu ia selalu menyebut Tikungan Daha sebagai penanda lokasi plot-plot sampel untuk penelitiannya. Setelah melalui tikungan dan sampai di punggung bukit, panorama yang terlihat di belakang pandang adalah hamparan lembah hijau Bukit Susu – bukit kembar berselimut hutan hujan tropis Kalimantan. Kabut sutera masih tipis menyaput ketebalan dedaunan, menerpakan sejuk angin pagi dari kejauhan.
Bukit yang ditumbuhi hutan lebat di ujung jalan tanah ini adalah bagian dari areal konsesi perusahaan pemegang ijin hak pengusahaan hutan (HPH) yang telah beroperasi lebih dari 20 tahun, sehingga tinggal hutan-hutan di pegunungan yang jauh dari logpond di sungai besar yang tersisa untuk ditebang. Ada kebiasaan dalam melakukan penebangan hutan selalu dimulai dari tempat-tempat yang berdekatan dengan sungai dan bergerak arah hulu dan pedalaman yang berbukit-bukit. Peruntukan lahan pada kawasan seperti ini termasuk kategori Hutan Produksi Terbatas yang hampir tidak berbeda kondisi biofisiknya dengan Hutan Lindung. Perusahaan HPH ini bekerja membalak kayu yang berasal dari pohon-pohon besar jenis meranti yang akan disulap menjadi lembaran-lembaran kayu lapis di pabrik-pabrik dan akhirnya menjelma menjadi lembaran-lembaran rupiah di Pulau Seberang.
Kegiatan Rudi untuk hari ini telah selesai, membuat rintis terakhir di lapangan pada plot ke sembilan. Plot yang paling sulit karena letaknya pada kelerengan yang curam sebagai pembanding untuk tingkat kesulitan yang tinggi pada kegiatan pemanenan kayu yang dilaksanakan oleh penebang dan traktor sarad. Dua minggu ini seluruh rangkaian pembuatan plot telah ia selesaikan dengan bantuan tenaga cruiser dan juru ukur perusahaan, mulai dari pemetaan pohon-pohon yang akan ditebang, mempelajari peta kelerengan sampai dengan pembuatan rintis batas plot penelitian.
Senja telah merayapi bukit. Kulit Daha yang keras, putih kecoklatan, semakin tegar nampaknya ketika digores cahaya kuning berkilauan, memantul menerobos pupil mata Rudi yang sejak tadi duduk hampir tak bergerak di semak-semak resam di pinggir jalan. Hi-line pick-up yang digunakan untuk mengangkut para penebang belum juga datang menjemput, padahal kelelahan Rudi yang telah bekerja seharian mulai beranjak menjadi kantuk.
“Melamun ya, Mas? Hati-hati lo, nanti kesambet! Suasana temaram begini banyak makhluk yang lewat!” Teriakan salah seorang yang membantu Rudi itu cukup menyadarkannya dari suasana hati yang mulai rawan.
Dengan sekali toleh dan sedikit senyum, Rudi segera beranjak ke kerumunan orang di atas tebing jalan yang baru dikupas. Tubuh-tubuh mereka perlahan kemudian tidak bisa lagi dibedakan atau dikenali, sebab cahaya matahari kali ini benar-benar telah padam.
***
Malam ini cuaca di lembah Saenda sangat dingin, menandai musim sedang kemarau. Para pekerja perusahaan telah lelap di barak-barak mereka: deretan barak kayu beratap seng yang dibangun di atas log atau kayu bulat besar. Barak-barak itu berdiri di atas hamparan tanah yang tidak terlalu luas, yang sebelumnya berupa hutan lebat yang dikupas dan digusur dengan traktor, sehingga menjadi semacam perkampungan kecil, sebuah camp sementara untuk mendukung aktivitas penebangan hutan. Orang-orang perusahaan biasa menyebut camp seperti ini dengan istilah camp tarik, karena barak-barak tersebut memang dapat ditarik dengan traktor untuk sewaktu-waktu dipindahkan ke tempat lain.
Diantara deretan barak kayu yang telah senyap, terlihat sebuah barak yang masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan, meskipun malam telah mulai larut. Bentuknya sama saja dengan lainnya, namun sebagaimana layaknya sebuah warung, pada bagian muka terdapat dua pintu dengan jendela lebar, sehingga tampak meja utama tempat makanan dan minuman serta aneka jajanan disajikan. Ada pula meja-meja dari papan yang ditempel pada sekeliling dinding bagian dalamnya dengan kursi kayu panjang tempat biasanya para pekerja duduk untuk mengisi perut maupun sekedar bersantai menikmati kepulan asap rokok dan hangatnya kopi. Memang barak yang satu ini adalah sebuah warung. Warung yang menghidupi seluruh penghuni camp tarik, menjadi semacam oase yang mengembalikan seluruh semangat dan kekuatan untuk terus berkerja di belantara hutan yang jauh.
Beberapa orang masih asyik ngobrol. Diantara kerumunan orang itu, Rudi tampak bersandar di dinding kayu sambil matanya mengarah pada layar kaca parabola, namun telinganya tidak lepas dari perbincangan para pekerja: ada berita seorang operator tebangan tewas di lokasi karena tertimpa patahan cabang tepat di kepalanya yang tidak dilindungi helm pengaman, ada kecelakaan kerja dialami pembantu operator traktor sarad yang terkena sabetan pengait baja di wajahnya, ada keluhan minimnya upah operator chainsaw dibanding operator logging truck, padahal resiko kerjanya tidak kalah besar, ada isu kecemburuan jatah lokasi penebang antara warga asli dan pendatang, ada komentar-komentar, lalu beralih cerita-cerita lucu yang menghangatkan. Beberapa saat kemudian pelupuk matanya perlahan mengatup tak bisa ditahan.
***
Aneka gambar berseliweran seperti cuplikan ekstra film di bioskop di benak Rudi. Manusia liliput sedang menebang pohong yang tingginya hampir mencapai awan. Tapi suara gergaji rantai kecilnya meraung-raung memekakkan gendang telinga raja orangutan yang bertengger di atas dahan. Ketika batang telah hampir selesai ditebang, pohon tak juga bergoyang, bahkan kemudian terdengar geraman sang raja yang perkasa mematahkan cabang besar dan melemparkan ke arah liliput yang lengah. Cras..Bum..Brrraakhh!!! Tanpa jeritan tubuh liliput tertindih cabang yang lalu menancap di dasar jurang. Tubuh Rudi berpeluh...
Pohon meranti putih sangat besar baru saja tumbang. Suara gedebamnya membuat merinding seluruh makhluk di hutan! Lalu bayangan traktor seperti gerombolan gajah mencoba menariknya dari kedalaman jurang. Suara meraung berat. Tak ada yang bergerak. Berulang ulang. Tas... Prakk!!! Pengait baja melayang secepat kilat. Menyambar wajah-wajah yang berpeluh pekat! Alis mata Rudi mengkerut...
Sesosok berwajah Rudi tampil di podium seminar. Mulutnya tak henti nyerocos tentang belantara yang porak poranda, batang-batang bersilang sengkarut, mencongkel mata air, mendongkrak tunggak-tunggak. Tak ada yang berdiri tegak. Para dosen penguji dan mahasiswa terpana pada mulut Rudi yang berbusa-busa, pada wajah Rudi yang tiba-tiba sepucat kulit Daha. ...Daha! Pasti pohon itu masih berdiri di sana. Pasti, sebab pohon banggeris tempat sarang lebah hutan itu tidak boleh ditebang. Tandanya jelas label kuning, dilindungi! Tapi..., jangan-jangan.... Rudi hendak beranjak bangkit, tapi sekujur tubuhnya kaku, lidahnya kelu...
***
Seperti biasa kesibukan pagi di camp tarik dibuka dengan celoteh siamang di rindang hutan. Bahkan fajar masih kelihatan di ufuk Timur, ketika para pekerja perusahaan telah berlalu lalang menuju sungai kecil di belakang barisan barak kayu. Perlahan matahari merangkak naik, namun sinarnya masih terhalang pepohonan. Cahaya keemasannya hanya tampak menggores tajuk meranti ramping yang tinggi, satu-satunya pohon yang dibiarkan berdiri di tepi jalan mainroad yang membelah areal camp. Rudi telah berkemas-kemas membawa peralatan dan bekal makan siang yang dibungkuskan oleh Bibi Warung. Dinginnya air sungai waktu mandi pagi tadi masih terasa menyegarkan, badan dan pikirannya. Hari ini adalah hari terakhir ia berada di lokasi tebangan, sebab sesuai jadwal ia besok harus berada di base camp untuk persiapan presentasi hasil penelitiannya. Untunglah data-data yang diperlukan telah cukup diperoleh dan sebagian besar telah diolah dan dianalisis.
Rombongan tujuh orang diangkut pick up ke atas bukit. Wajah-wajah terlihat ceria seperti biasa, seolah pekerjaan berat yang menyerap sejuta keringat ini tak terasa bagi orang-orang yang telah tertempa seperti mereka. Sesekali canda tawa bersautan dengan derum mesin diesel dan raung gergaji di kejauhan. Bau solar tercium dari sisa asap knalpot yang ditinggalkan. Cuaca cukup cerah. Pekerjaan hari ini tinggal menemani Rudi mengumpulkan anggrek hutan. Anggrek yang menempel mesra di dahan yang bergelimpangan, perlahan akan dikelupas untuk diselamatkan. Sebenarnya kegiatan ini intermezo saja bagi Rudi, karena sayang melihat anggrek yang begitu indah namun tertimbun reruntuhan hutan.
Cepat sekali senja kembali merayap. Semua bekal telah habis dilahap. Sampai sejauh ini pick up perusahaan belum juga terlihat. Lelah yang memuaskan baru saja dirasakan, namun tanpa tanda-tanda sebelumnya, pupil mata Rudi tiba-tiba nanar menatap sosok yang tegak sendirian di tikungan. Rasa aneh menyelinap: syukur yang bimbang! Kulit Daha benar-benar telah putih pucat. Cahaya kuning emas tak mampu lagi menyepuhnya. Suara fauna bersahutan.
Ada apa gerangan?
Lalu senja merapat.
Ada yang hilang barusan?
Lalu tupai terbang melompat.
Ingin didengar jawab dari Daha di Tikungan.
Namun senja keburu tenggelam.
***
Palangka Raya, Mei 2003; Juli 2009
Senin, 29 November 2010
DI TIKUNGAN DAHA SENJA TENGGELAM
Diposting oleh ugiborneo 1 komentar
Label: sastra acp
Kamis, 23 September 2010
“Auuwww...!”
Yang kasat di depan mata adalah pentas sulap para penyihir. Setelah kayu-kayu, emas hijau jilid kesatu dihabisi, tanah-tanah yang semula kosong-melompong dalam sekejap berubah menjadi bidak-bidak sawit yang maha luas. Menjelma hamparan emas hijau jilid kedua, sumber kemakmuran baru bagi seluruh warga negara.
Tapi nanti dulu. Itu sekali-kali tidak berarti bagi Ulan, warga kampung pinggir kali. Tak ada yang mengerti, Kawan, sampai kapan pun tak akan dapat dimengerti: atas nama pertumbuhan, pembangunan, peningkatan kesejahteraan, atau sumber kemakmuran, atau apalah lagi, yang dahulu hanya hutan, sekarang ladang pun harus dimusnahkan!
***
Sejak moyangnya dulu, himba, belantara rimba, adalah berkah bagi para penghuninya. Apa saja di dalamnya bisa diambil dan diramu untuk memenuhi hajat hidup. Tanah di atas sepenggal benua ini nyata-nyata subur untuk tumbuhnya padi, kemakmuran dari ladang yang bersahaja, yang diresapi sampai ke nurani. Setelah cukup menghidupi, padi di ladang diganti karet sebagai sumber rejeki dari generasi ke generasi. Dan dengan hati-hati, dibukanya ladang baru untuk kehidupan anak cucu.
Para penghuni pedalaman Borneo adalah manusia-manusia yang sadar hidup di antara banyak kehidupan lainnya. Mereka sangat paham dengan keseimbangan. Mereka pelihara hutan, mata air, kebun dan ladang untuk jaminan berlangsungnya seluruh kehidupan. Mereka sangat mengerti balas budi. Segala yang telah diambil pada waktunya diserahkan kembali. Pantang bagi mereka menganggap tanah dan hutan sebagai warisan, sehingga dengan seenaknya dibagi-bagi!
Dengan segenap penghayatan, tarian tingang dipersembahkan. Dengan sepenuh perasaan, nyanyian ladang pun disenandungkan:
inilah ladang, keringat darah para moyang :
batang kayu rebah di Lewu Batu
baur membaur dupa gaharu
inilah ladang, keringat darah indu bapa :
gubuk bersirap anyaman sagu
asap menempel pada dinding berlatu
inilah ladang, keringat yang meresap sampai ke tulang :
pada tanahnya yang hangat lembut
kami tancapkan tugal berkali-kali
menggerakkan hasrat bumi yang masir
untuk bersegera membuai benih padi
di antara dahan-dahan durian
kami teriakkan kotek tingang bersautan
biar terbang mengibaskan putih gemawan
menggores hitam menjadi berkah hujan
inilah ladang, keringat yang menguap dibasuh lelap :
tangkai tangkai yang dipetik gadis udik
jemarinya menggetarkan dawai kecapi
mengiringi angin beraroma nyatu
mengalun syahdu tiupan bambu *)
***
Kemudian:
Entah sejak kapan dan dimulai dari mana, tiba-tiba di tengah rimba di atas bukit-bukit itu bermunculan binatang aneh yang membuat panik seisi hutan. Sosoknya yang besar, dipenuhi sisik keras kuning perak di sekujur badannya dan moncong lebar penuh dengan taring tajam serupa gading membuat merinding para predator berdarah dingin. Terlebih lagi adalah tingkah mereka yang serampangan membuat onar yang hingar bingar: bising, berdebam dan berat. Menggasak semak-semak sampai tunggak, melindas tunas-tunas hingga tuntas. Bagai diterpa ribuan puting beliung, pohon-pohon tumbang tanpa ampun. Laksana diterjang selaksa bandang, batang-batang hanyut terbuang hingga muara. Seketika belantara porak poranda, tak bersuara...
***
Berhari-hari, bulan dan tahun kemudian, monster bertulang baja serentak menuruni bukit-bukit gundul, merayapi lembah-lembah subur. Dan pada gilirannya: abrakadabra...! Karet dan langsat di kebun-kebun, padi dan pisang di ladang-ladang sirna seketika. Kiamat seperti dipaksa datangnya. Segala yang hidup binasa, segala yang tumbuh kembali rata. Nyaris tanpa penghalang, batalyon kavaleri itu bergerak, berserak, gaduh dan mematikan!
Suara-suara asing mesin-mesin penjagal itu lalu menguap dan tertangkap butir-butir udara, terbawa angin dari Utara, mengendap perlahan lantas mengguyur bersama hujan. Hingga pada suatu malam yang berselimut kabut, dengungan itu menyergap cepat bagai sekawanan lebah hutan, berbondong-bondong menyengat kepala-kepala tak berdaya. Racun yang ganas menghantui mimpi-mimpi para penghuni perkampungan di pinggir kali - yang telah lama tercemari. Menyiutkan nyali!
Itu belum selesai. Belakangan baru disadari bahwa monster penjagal itu juga berlidah api. Tidak cukup rupanya hanya mendorong batang dan mencongkel tunggak. Dengan dalih menambah “kesuburan” tanah yang dibuka lahan perkebunan sawit, orang mesti membakar habis tumbuhan apapun di atasnya, pohon raksasa sampai jamur mungil pun!
Itu pulalah yang terjadi. Ketika Ulan menengok ladang dan kebunnya, di depan mata terpampang pemandangan yang serta merta mematahkan daya hidupnya. Areal yang akan dibuka untuk sawit sedang membara, lidah apinya telah pula menghanguskan ladang dan bahkan kebun karet miliknya. Panas api yang menyulut kayu gubuk humanya sampai di ujung tiang terakhir telah menjilat ubun-ubunnya. Sejurus berlalu, asap putih berubah kelabu, lalu hitam tebal menggumpal menjadi halimun beracun yang menggerogoti paru-paru istrinya yang rapuh, memerihkan mata-mata bening yang meleleh karena terpanggang bara.
Kenyataannya, emas hijau bagi orang seperti Ulan adalah arang yang merah, abu yang mengharu, awan dendam yang diam-diam mulai bersarang di dada Ulan.
***
Nah, sekaranglah saatnya! Ketika sisa suara binatang malam dibalut dingin kemarau menggesekkan symphoni menyayat: dendam harus dilunaskan! Bila tidak, uluh sendiri yang habis termakan! Tapi siapa gerangan yang harus dienyahkan?!
Ia hisap dalam-dalam sebatang rokok keretek, mengepulkan asapnya, mengusik beberapa kumbang yang sedari tadi berdengung-dengun, berputar di sekitar kepalanya menarikan Tiwah Penghabisan. Sekelebat terngiang kembali waktu gerigit roda-roda baja bermanuver di tanah-tanah himba tanpa tawar. Jutaan buah tengkawang berhamburan. Batang kokoh banggeris teriris-iris mengacaukan kawanan lebah hutan.
Sesaat pupil matanya memutih dipenuhi gambar kaum kerabat yang bersemayam di atas sandung dan dijaga sapundu-sapundu keramat. Tank-tank itulah yang menghancurkan kampung peristirahatan para moyang. Sekarang mesiunya pun menghangus-abukan sanak saudaranya yang tersisa.
“Bangsat, keparat! Tak takut kau pada kualat!” Matanya memicing lalu memejam. Gerahamnya gemeretak, membuyarkan tarian kumbang.
***
Malam menjelang luruh. Bulan penuh bertengger di langit keruh. Beberapa penjaga malam dan karyawan Perusahaan Perkebunan Sawit yang sedang lembur dikejutkan oleh kegaduhan di pelataran belakang gudang. Mula-mula suara bising itu seperti yang sehari-hari mereka dengar, namun lama-kelamaan bunyi itu meraung-raung menjadi-jadi, tak terkendali.
Keheranan segera berubah takjub mengerikan ketika mata-mata mereka menangkap pemandangan yang sangat tidak masuk akal. Seseorang bertelanjang dada bermata beruang berkilat-kilat bergelut dengan sosok binatang melata berkaki delapan yang dipenuhi sisik kuning perak di sekujur badannya yang kuat dan besar. Suara raungan yang mendirikan bulu kuduk itu berasal dari rongga mulutnya yang menganga penuh dengan taring-taring serupa gading. Dalam sekali caplok pasti sepuluh orang akan habis dikunyahnya. Tapi nampaknya tak sedikit pun menyiutkan nyali seseorang bermata beruang.
“Rasakan! Kuhabisi Kau! Auuuuwww..!!!” Teriakan Mata Beruang melancarkan jurus-jurus mautnya tepat pada sasaran, sehingga binatang raksasa itu meraung-raung kesakitan.
“Hrrrrrr......! Hrrrrr....! Gedebummm!” Roboh, menggelepar tubuh berat berdebam.
“Aaaaaaaauuuuuwww.....!” Dalam beberapa hitungan, Mata Beruang telah duduk di atas lehernya dan meneriakkan kemenangan. Kesumatnya baru saja terlampiaskan.
“Hrrrrr.... hrrr.....! Auuuwww....! Hrrrrr.... hrrr..... hrrrrrrr...! Auuuwww....!” Berdiri sempoyongan raksasa bermata merah menyala, sejurus kemudian berputar-putar kesetanan membuat onar di camp perkebunan. Di atasnya Sang Pawang Mata Beruang setengah berdiri menunggangi, sambil terus menerus berteriak penuh kemenangan.
Dengan kendali Mata Beruang, raksasa kuning perak itu mengobrak-abrik isi gudang, bengkel dan akhirnya merobohkan genset besar hingga seluruh areal camp gelap gulita. Suara panik para buruh dan karyawan semakin riuh bertumpangtindih dengan teriakan-teriakan satpam mengomando orang-orang untuk tetap bertahan di dalam barak.
“Hrrrrrrrr..............!” Raksasa berhenti sejenak, meraung panjang, dengan mulut menganga ke atas dan lidah api menjulur menjangkau bulan. Secepat kilat meninggalkan camp menuju areal perkebunan.
Sesaat hening, bulan pucat pasi, kemudian suara gedebam berkepanjangan, raungan dan teriakan miris tak habis-habis....
***
Seluruh tanah perkebunan berlatar akar-akar bergelimpangan, batang-batang dan pelepah-pelepah yang hangus terbakar. Di salah satu sudut areal sebuah bulldozer terjerembab di kubangan besar. Penyok penuh goresan. Mata pisau bajanya rompal, melengkung dan patah di tangkai kanan. Dua sisi roda tanknya sudah tak berantai, lepas berserak di antara tanah dan batu yang tercabik-cabik. Tapi tak ada bau anyir, tak ada tapak. Hanya teriakan panjang :
“Auuuuuuuuwwww.........!”
Begitulah, Kawan. Padahal pagi sudah merah!
***
Diposting oleh ugiborneo 0 komentar
Label: sastra acp
Senin, 20 September 2010
menuju habitat translokasi orangutan
[Cagar Alam Bukit Sapat Hawung]
Pulau Kalimantan selain terkenal dengan wilayahnya yang luas, juga memiliki potensi sumber daya alam dan keanekaragaman flora dan fauna yang tidak ternilai. Disebuah tempat terpencil bagian utara Provinsi Kalimantan Tengah tepatnya di wilayah Kecamatan Uut Murung - Kabupaten Murung Raya terdapat deretan bukit yang merupakan bagian dari hulu Sungai Barito (salah satu sungai besar di pulau Kalimantan) menjadi habitat satwa endemik pegunungan Borneo yang oleh masyarakat Kalimantan Tengah dikenal dengan nama Bukit Sapat Hawung yang merupakan sebagian kecil dari untaian Pegunungan Muller. Penduduk setempat menyebut bukit ini dengan nama “Baring Hawun”, dimana baring artinya “bukit tinggi yang besar dan memanjang” dan hawun artinya “embun”. Dinamakan demikian karena bukit tinggi yang memanjang ini bagian puncaknya hampir selalu ditutupi kabut.
Karena karakteristik wilayahnya dan kekhasan flora dan fauna yang dimiliki, maka pemerintah menetapkan Bukit Sapat Hawung menjadi Kawasan Konservasi Cagar Alam melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 705/Kpts/Um/10/1982 tanggal 12 Oktober 1982 jo. Nomor : 174/Kpts/Um/3/1983 tanggal 10 Maret 1983.
Letak dan Luas
Secara geografis Kawasan Konservasi Cagar Alam Bukit Sapat Hawung berdasarkan Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Provinsi Kalimantan Tengah skala 1 : 500.000 Tahun 1982 terletak pada koordinat 0° 19' 56.30" sampai 0° 47' 04.43" LU dan 114° 00' 18.05" sampai 115° 00' 20.93" BT dengan ketinggian tempat 200 sampai 1.800 meter diatas permukaan laut (dpl). Sedangkan menurut administrasi pemerintahan masuk dalam wilayah Kecamatan Uut Murung Kabupaten Murung Raya Provinsi Kalimantan Tengah, berada dalam wilayah kerja pengelolaan Seksi Konservasi Wilayah III Muara Teweh - Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Kalimantan Tengah.
Berdasarkan Peta Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan Propinsi Dati I Kalimantan Tengah skala 1 : 500.000 tahun 1982, Kawasan Konservasi Cagar Alam Bukit Sapat Hawung seluas ± 239.000 hektar, yang berbatasan dengan :
Sebelah Utara : Berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Timur
Sebelah Timur : Berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Timur
Sebelah Selatan : Hutan Produksi Terbatas (HPT)
Sebelah Barat : Hutan Lindung Bukit Tutacaru
Pelaksanaan tata batas kawasan Cagar Alam Bukit Sapat Hawung dalam rangka penetapan batas fungsi pernah dilaksanakan oleh Balai Planologi Kehutanan III sepanjang 126 Km yang dibiayai dari Anggaran Bagian Proyek Perencanaan dan Pengukuhan Hutan tahun 1983/1984, sedangkan sisa batas cagar alam yang belum ditata batas sepanjang ± 40 Km. Pelaksanaan kegiatan rekonstruksi sebagian batas oleh Sub BIPHUT Muara Teweh Tahun Anggaran 1999/2000.
Aksesibilitas
Untuk mencapai kawasan, dari Palangkaraya (Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah) dapat ditempuh dengan pesawat perintis ke Muara Teweh (Kabupaten Barito Utara) atau Puruk Cahu (Kabupaten Murung Raya) selama ± 1 jam 30 menit atau melalui transportasi darat selama ± 6 - 8 jam ke Muara Teweh. Selanjutnya dari Muara Teweh menuju Puruk Cahu dengan jarak ± 102 Km dapat ditempuh dengan transportasi darat selama ± 4 jam.
Akses untuk menuju kawasan Cagar Alam Bukit Sapat Hawung termasuk sulit. Dari Puruk Cahu menuju desa sekitar kawasan (Desa Kelasin atau Desa Keramu) ditempuh dengan transportasi darat selama ± 5 jam karena kondisi jalan kurang baik. Selanjutnya untuk masuk kedalam Kawasan Konservasi Cagar Alam Bukit Sapat Hawung dapat ditempuh melalui beberapa anak Sungai Murung (sungai Malu, sungai Buluh dan Sungai Belatung) dengan menggunakan klotok kecil atau cess (sebutan transpotasi air masyarakat lokal berupa perahu sampan terbuat dari kayu yang dipasangi mesin).
Pengelolaan
Dalam pengelolaannya, Cagar Alam Bukit Sapat Hawung berada dalam wilayah kerja Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Tengah Seksi Konservasi Wilayah III Muara Teweh, Resort KSDA Puruk Cahu di Puruk Cahu.
Pemeliharaan tata batas dan pengamanan areal menjadi fokus utama, selain itu melalui kerjasama dengan Yayasan BOS-Nyaru Menteng telah melakukan survey potensi habitat orangutan dalam rangka pengusulan Kawasan Cagar Alam Bukit Sapat Hawung sebagai tempat translokasi orangutan.
Flora dan Fauna
Kawasan Konservasi Cagar Alam Bukit Sapat Hawung termasuk tipe hutan hujan tropika basah dataran tinggi yang didominasi famili Dipterocarpaceae (kelompok Meranti). Jenis-jenis Flora antara lain adalah Balau, Keruing, Nyatoh, Mahang, Sial Menahun, Ulin, berbagai jenis Anggrek, Palm gunung, Rotan Pulut, Rotan Manau, Meranti Tembaga, Terentang, Rengas, Kayu Gading, Waru Gunung, Simpur, Durian/Karantungan, Meranti Putih, Terap, Bungur dan Jabon.
Kajian etnobotani di Tumbang Tujang (salah satu desa penyangga) mengungkapkan adanya 44 jenis tumbuhan yang biasa dimanfaatkan untuk obat, 46 jenis tumbuhan yang biasa digunakan sebagai sayuran, dan 26 jenis tumbuhan yang dikategorikan sebagai kayu adat (jenis-jenis tumbuhan yang berperan penting dalam tradisi ritual masyarakat setempat, dan dilindungi secara adat).
Jenis-jenis fauna yang hidup dalam kawasan Konservasi Cagar Alam Bukit Sapat Hawung antara lain adalah Burung Rangkong, Orangutan, Owa-owa, Burung Murai Batu, Burung Merak, Monyet, Ular, Kancil, Rusa, Babi, Beruang Madu dan Kodok beracun.
Iklim
Klasifikasi tipe hujan menurut metode Schmidt and Ferguson (1951) adalah tipe A. Pola curah hujan yang terjadi di sekitar kawasan adalah pola tunggal (pola A single wave) dengan puncak curah hujan tertinggi bertepatan dengan musim winter di belahan bumi utara. Klasifikasi zona agroklimat menurut metode Oldeman (1975) termasuk zona agroklimat B1.
Curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2.457,4 mm/tahun sedangkan jumlah hari hujan sebesar 97 hari/tahun. Intensitas hujan rata-rata tahunan sebesar 25,33 mm/hari (Kompilasi data iklim Stasiun Meteorologi Muara Teweh tahun 1992 – 2002).
Suhu udara rata-rata di sekitar Kawasan kisaran antara 26,1˚ - 26,8˚C, dengan suhu udara maksimum kisaran antara 31,1˚ - 32,6˚C sedangkan suhu udara minimum kisaran antara 22,6˚ - 23,3˚C. Kelembapan udara rata-rata tahunan kisaran antara 82,6% – 85,4%.
Topografi
Topografi kawasan konservasi Cagar Alam Bukit Sapat Hawung berdasarkan Peta Kelas Lereng skala 1 : 500.000 dari Balai Planologi Kehutanan III tahun 1980 secara umum bergelombang sampai berat dan curam dengan kelerengan antara 25 % sampai dengan 45 %, sebagian dibeberapa daerah tertentu sangat curam dengan bentang alam berbentuk tebing-tebing yang terjal dan curam.
Kawasan Cagar Alam Bukit Sapat Hawung merupakan daerah pegunungan (Batu Ayau, Pacungapang, Sapat Hawung) yang memanjang dari timur ke barat, apabila dilihat dari tingkat ketinggiannya terdiri 24% dari luas kawasan berada pada ketinggian 200-500 meter dari permukaan laut, terutama di daerah bagian selatan yang berbatasan dengan Areal Hutan Produksi Terbatas, 49,46 % terletak pada ketinggian 600-1.000 meter dari permukaan laut dan 26,53 % terletak pada ketinggian 1.100-1.850 meter diatas permukaan laut pada bagian utara yang berbatasan langsung dengan Provinsi Kalimantan Timur.
Geologi dan Tanah
Berdasarkan Peta Geologi lembar Long Pahangai sheet 1716, skala 1 : 250.000 (Puslitbang Geologi, 1993), Kawasan Konservasi Cagar Alam Sapat Hawung berkembang dari 2 formasi, yaitu formasi Ujoh Bilang (Tou) pada bagian selatan dan Formasi Batu Ayau (Tea) pada bagian Timur.
Berdasarkan Peta Landsystem (Reppprot) Propinsi Kalimantan Tengah, Skala 1 : 250.000 Tahun 1987 / 1988, jenis tanah kawasan konservasi Cagar Alam Bukit Sapat Hawung terdiri dari jenis podsolik (Tropudults) seluas 34.283 hektar dengan penyebaran pada daerah-daerah datar hingga agak curam, sedangkan dan jenis kambisol (Dystropepts) mencapai luasan 162.685 hektar.
Formasi geologinya meliputi kawasan bukit batu kapur, yang membentuk topografi karst terutama di sekitar puncak Sapat Hawung dengan gua-gua pada dinding dan dasar bukit. Di beberapa tempat batuannya terdiri atas batu pasir dan kuartzit yang membentuk tanah khas. Secara umum tanah kawasan Cagar Alam Sapat Hawung merupakan rangkaian komplek podsolik dengan kedalaman dan kandungan liat yang sangat bervariasi.
Hidrologi
Kawasan Cagar Alam Bukit Sapat Hawung merupakan hulu Sungai Barito yang mengalir dari Kalimantan Tengah hingga ke Kalimantan Selatan dan bermuara di Laut Jawa, dan juga mengaliri beberapa sungai di Provinsi Kalimantan Timur. Hulu sungai Barito ini mengalir dari arah Timur Laut menuju arah Barat Daya dan bermuara pada Sungai Barito. Sungai-sungai yang mengalir arusnya cukup deras, dasar sungainya berbatu-batu dengan tebing yang curam serta banyak terdapat jeram/riam (35 jeram besar, 65 jeram kecil).
Anak sungai yang berada didalam dan sekitar areal kawasan Cagar Alam Bukit Sapat Hawung ini antara lain sungai Belatung, Kapuai, Talun, Buluh, Bajoit, Takurieh, Keramu, Busang, Isam dan Nahuwang. Anak sungai ini rata-rata lebarnya berkisar antara 20-30 meter dengan kedalaman antara 1-2 meter.
Desa-desa Penyangga
Desa yang berdekatan/disekitar kawasan Cagar Alam Bukit Sapat Hawung antara lain Tumbang Jojang, Tumbang Topus, Tumbang Tujang, Jojang Parit, Keramu, Kelasin dan Parahau.
Diposting oleh ugiborneo 1 komentar
Label: padang himba