Alhamdulillah & terima kasih anda berkunjung di blog ini, mohon saran dan masukan yang positif

Selasa, 10 Juli 2007

Seikat Uei, Sepotong Rotan


Istilah Uei mungkin agak asing terdengar di telinga para pembaca, meskipun dalam kehidupan sehari-hari seringkali dijumpai maupun digunakan. Betapa tidak, ia telah lama dibentuk, diserut, dianyam dan dirangakai menjadi berbagai perabot yang praktis seperti meja kursi, lampit (semacam tikar), dan berbagai barang kerajinan (handy-craft) yang artistik. Contoh lain yakni dalam olah raga sepak takraw, ia lentur untuk dijalin menjadi bola kecil yang ulet. Bahkan, ia telah biasa digunakan sebagai tangkai kemocing dan penggebuk kasur! Uei..., adalah nama lokal untuk Rotan dalam bahasa Dayak Kalimantan Tengah.


Apa yang menarik dari Uei? Uei atau Rotan (Calamus sp.) adalah jenis tumbuhan dari suku Palmae (sekerabat dengan kelapa, salak, palem, dll.) yang biasa tumbuh memanjat dengan menggunakan duri-duri pengait di sekujur pelepah dan ujung-ujung daunnya pada pohon-pohon besar maupun semak belukar di dalam kelebatan rimba tropis basah. Oleh sebab itu seringkali nampak pucuk-pucuknya muncul di atas tajuk pohon serupa antena. Dengan cara ini ia memperoleh cukup sinar matahari bagi pertumbuhan tunas-tunas pada rumpunnya maupun perkembangan generatifnya dalam menghasilkan buah. Terdapat banyak jenis rotan yang masing-masing memiliki ukuran dan sifat yang berbeda-beda, seperti Irit, Taman, Minong, Sega, Manau, dan lain-lain. Karena memiliki fisiologi batang yang bulat (diameter sebesar lidi sampai dengan seukuran lengan), beruas panjang, ulet dan lentur seta awet, sangatlah beralasan jika pada akhirnya mereka dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, sesuai dengan ciri khas masing-masing.

Bagi kalangan masyarakat tradisional Dayak, rotan menempati posisi yang sangat penting baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam upacara ritual/adat. Pada umumnya rotan digunakan untuk alat ikat mengikat, baik saat membangun rumah, memasang jerat binatang buruan, untuk membuat Mihing (semacam alat menangkap ikan yang khas) dan mangikat peralatan tranportasi air. Hasil serutannya sangat melekat dengan kehidupan sehari-hari, seperti anyaman pada Keba (sejenis tas punggung) dan tali pengikat pada Mandau (senjata tajam yang telah menjadi benda pusaka) dan Beliung (kapak). Tidak kalah dengan bambu, umbut (rebung) rotan muda meskipun agak pahit sangat digemari untuk dikonsumsi menjadi Juhu (semacam gulai) maupun direbus begitu saja sebagai sayur.

Dalam berbagai upacara ritual pada tradisi Dayak, rotan seringkali digunakan sebagai salah satu materi syarat yang harus ada, bahkan bisa menjadi syarat utama. Sebagai ontoh adalah tradisi Sumpah Setia melalui upacara Potong Rotan. Dalam buku Maneser Panatau Tatu Hiang : Menyelami Kekayaan Leluhur (Penyunting: Dra. Nila Riwut, 2003) diungkapkan bahwa sumpah setia yang dilakukan oleh suku Dayak kepada pemimpin mereka biasanya diadakan dengan saling menukar darah yang biasa disebut hakinan daha hasapan belum, yang kemudian pada pergelangan tangan diikatkan dengan lamiang atau lilis dan dilanjutkan dengan memotong rotan, menaburkan beras kuning menabur abu dan garam. Setelah itu ibu jari tangan kanan dilukai sedikit hingga mengeluarkan darah, sebagi lambang bakti setinggi-tingginya. Upacara ini dilaksanakan sebelum matahari tepat di atas kepala (pukul 12.00 siang hari).

Yang menarik dari upacara sumpah setia tersebut adalah adanya semacam ancaman/sanksi yang bersifat metafisis terhadap perkataan yang tidak benar (berbohong) dalam sumpah, yaitu sebagaimana abu yang terbang berhamburan dibawa angin, begitu pula kehidupan nantinya akan sia-sia dan terkutuk, serta hancur seperti garam yang menguap. Yang berikutnya yaitu sebelum acara potong rotan, yang bersumpah setia harus berani mengatakan : apabila ia tidak setia kepada sumpahnya, maka ia berani tanggung resiko bagai rotan yang terpotong, yang berarti nyawanya (nafasnya) pun akan terpotong, siap sewaktu-waktu nyawa terputus dari badan. Akan tetapi apabila ia setia, rajin dan jujur untuk selamanya, maka ia akan mendapat untung panjang, hidup senang, umur panjang, dapat berkah dan banyak rejeki. Tidak tanggung-tanggung, sumpah setia semacam ini telah pernah dilaksanakan oleh Suku Dayak Pedalaman Kalimantan kepada Pemerintah Republik Indonesia di Gedung Agung Yogyakarta pada masa penmerintahan Presiden Soekarno tanggal 17 Desember 1946.

Apakah upacara tersebut masih relevan diterapkan pada saat ini? Mengapa tidak, ia bisa menjadi salah satu alternatif bagi penyelesaian berbagai permasalahan antara pihak-pihak yang bersengketa (semacam sumpah pocong!) untuk memberikan efek psikologis pada pelaku yang bertindak curang/bohong. Lebih jauh lagi, rotan merupakan lambang persatuan, ikatan yang erat, sehingga paling tidak ia bisa menjadi simbolisasi dari pernyataan bersatu dalam masyarakat pluralisme dewasa ini, sejalan dengan pomeo: dimana langit dijunjung di situ bumi diinjak! Nah, kalau sudah tahu demikian, maka jangan anggap main-main dengan yang namanya Uei !

Tidak ada komentar: