Alhamdulillah & terima kasih anda berkunjung di blog ini, mohon saran dan masukan yang positif

Kamis, 15 Mei 2008

TERAPUNG MENITI HARI ....


Hampir semua aktivitas kehidupan sehari-hari bisa dilakukan dengan mudah dan tanpa beban, meskipun bagi yang tidak biasa dapat dipastikan akan menjadi sesuatu yang sangat merepotkan. Cobalah bayangkan, ketika bangun tidur di tengah malam untuk hajat ke kamar kecil, anda harus melewati titian demi titian terapung di atas air yang bisa jadi berarus deras dan berpenghuni buaya! Setelah itu duduk terayun-ayun di kegelapan sungai, sambil berharap agar hujan tidak tiba-tiba jatuh. Habis itu kembali melewati titian dan masuk rumah kayu yang hangat untuk meneruskan istirahat dengan tetap terayun-ayun gelombang hingga kembali terlelap. Keesokan harinya terbangun dan memulai rutinitas hari di atas derasnya arus sungai di pedalaman Kalimantan.

Rumah berdinding kayu itu memang dibangun di atas beberapa kayu bulat yang cukup besar – dengan adanya aktivitas penebangan kayu oleh perusahaan, biasanya dipakai kayu mekanis jenis meranti yang afkir - yang dirakit dan didesain sedemikian rupa menjadi sebuah pondasi yang kuat dan terapung di sungai. Atap yang dipakai pada awalnya dari anyaman daun rumbia (nipah) yang banyak tumbuh di tepi sungai. Belakangan hari dengan semakin majunya perdagangan dan pertimbangan praktis orang mulai membuat pondasi dari rakitan drum kosong dan atap seng sebagai gantinya.
Ukuran rumah terapung ini bervariasi berdasarkan fungsinya. Sebagai gambaran panjang kurang lebih 5 meteran, lebar 3 meteran dan tinggi 2,5 meteran, dengan bentuk bangunan tak berbeda jauh dengan rumah pada umumnya. Rumah yang difungsikan sebagai tempat tinggal biasanya lebih besar dibandingkan dengan rumah yang difungsikan sekedar sebagai tempat istirahat sementara selama bekerja atau sebagai barak kerja. Bahkan tidak sedikit rumah terapung yang berukuran cukup besar dan berfungsi ganda sebagai toko atau warung, yang melayani para pekerja atau penumpang perahu motor yang lewat.

Untuk mempertahankan posisinya di atas air, bangunan ini ditahan dengan menggunakan tali yang kuat dan ditambatkan pada pasak atau tiang penyangga di darat. Tali ini seringkali cukup panjang apabila jarak ke air ketika sungai mengalami surut terbawah juga cukup jauh. Tali dan tiang-tiang penyangga difungsikan juga untuk menyangga dan melewatkan kabel listrik PLN untuk penerangan dan peralatan elektronik di dalam rumah terapung. Perabot dan peralatan yang ada tidak berbeda dengan umumnya rumah modern, bahkan peralatan seperti parabola sudah menjadi pemandangan umum. Bukan apa-apa, payung satelit itu hampir menjadi keharusan apabila hendak menikmati tayangan televisi di tempat yang terpencil dari stasiun pemancar!

Istilah yang umum digunakan orang Dayak untuk menyebut rumah terapung ini adalah Lanting. Agaknya Lanting ini dibangun dengan pertimbangan teknis yang lebih dominan, sehingga unsur seni-budaya seperti pembagian ruang dan penggunaan ornamen pada tiap bagian bangunan hampir tidak terlihat. Hal ini wajar terjadi karena pembangunan Lanting lebih banyak bersifat temporal dan berkaitan erat dengan kepentingan aktivitas perekonomian yang terkait langsung dengan transportasi sungai. Ini sangat berbeda dengan bangunan Rumah Betang, yaitu rumah adat Suku Dayak Kalimantan Tengah berupa rumah kayu panggung yang panjang. Rumah Betang penuh dengan ornamen yang artistik dan simbol-simbol yang bernilai sakral, dibangun di atas tanah dan dihuni oleh masyarakat agraris dalam suatu ikatan batin yang bersifat kesukuan dan terkait erat dengan adat-istiadat.

Meskipun demikian, keberadaan lanting yang berjejer di tepi aliran sungai ini menjadi pemandangan yang unik dan menarik, khususnya bagi para pendatang dan pelancong. Hampir di sepanjang aliran sungai dari hulu hingga hilir dan di semua ibukota kabupaten di Kalimantan Tengah yang berada di tepian sungai, pemandangan seperti ini mudah kita jumpai. Bahkan, apabila kita berdiri di atas Jembatan Kahayan – bangunan yang menjadi icon pembangunan Kota Palangka Raya, ibukota Provinsi Kalimantan Tengah – lalu kita arahkan pandangan ke belokan Sungai Kahayan yang berlatar bangunan-bangunan kota, landscape Tepian Sungai Kahayan ini menjadi demikian eksotis dan hidup dengan adanya sketsa Lanting, keramba ikan dan lalu lalang perahu jukung (seperti sampan) dan kelotok (perahu bermesin). Apalagi pada musim panen rotan, pemandangan dipercantik lagi dengan aktivitas masyarakat Dayak yang sedang meruntih (membersihkan rotan).

Dengan demikian, Lanting pada saatnya sangat potensial untuk dipertahankan dan bahkan dilestarikan untuk menunjang pariwisata dipaduserasikan dengan pengelolaan kawasan tepian sungai yang berwawasan lingkungan. Contoh yang mutakhir adalah seperti yang dikembangkan oleh Pemerintah Kabupaten Kapuas, yakni membangun Wisma Tamu, sebuah penginapan yang artistik dan modern yang terapung di pinggir sungai Kota Kuala Kapuas, terinspirasi oleh Lanting tradisional yang banyak terdapat di sepanjang Sungai Kapuas. Wisma ini juga disewakan bagi para pelancong yang ingin menikmati indahnya pemandangan di tepian Sungai Kapuas.

Lebih dari itu semua, Lanting pada akhirnya adalah perlambang dari sebuah falsafah hidup. Selalu berada di permukaan untuk memahami kehidupan, tidak tenggelam dalam kepicikan nafsu yang membelenggu, atau melambung di atas akal yang pongah...! (ACP dkk, PH, Vol.4 No.7).




2 komentar:

Anonim mengatakan...

Saya sudah mengunjungi situs ini. Tulisannya sangat menarik dan inspiratif. Saya mohon izin ya mengagregasinya ke Planet Borneo.

Terima kasih

Anonim mengatakan...

kayaknya enak ya punya rumah perahu dan terpung..? hidup berpindah2.. jadi tambah pengalaman.
cuman susahnya kalo pendataan BLT nich :D :D