Alhamdulillah & terima kasih anda berkunjung di blog ini, mohon saran dan masukan yang positif

Kamis, 23 September 2010

“Auuwww...!”

Yang kasat di depan mata adalah pentas sulap para penyihir. Setelah kayu-kayu, emas hijau jilid kesatu dihabisi, tanah-tanah yang semula kosong-melompong dalam sekejap berubah menjadi bidak-bidak sawit yang maha luas. Menjelma hamparan emas hijau jilid kedua, sumber kemakmuran baru bagi seluruh warga negara.
Tapi nanti dulu. Itu sekali-kali tidak berarti bagi Ulan, warga kampung pinggir kali. Tak ada yang mengerti, Kawan, sampai kapan pun tak akan dapat dimengerti: atas nama pertumbuhan, pembangunan, peningkatan kesejahteraan, atau sumber kemakmuran, atau apalah lagi, yang dahulu hanya hutan, sekarang ladang pun harus dimusnahkan!
***

Sejak moyangnya dulu, himba, belantara rimba, adalah berkah bagi para penghuninya. Apa saja di dalamnya bisa diambil dan diramu untuk memenuhi hajat hidup. Tanah di atas sepenggal benua ini nyata-nyata subur untuk tumbuhnya padi, kemakmuran dari ladang yang bersahaja, yang diresapi sampai ke nurani. Setelah cukup menghidupi, padi di ladang diganti karet sebagai sumber rejeki dari generasi ke generasi. Dan dengan hati-hati, dibukanya ladang baru untuk kehidupan anak cucu.
Para penghuni pedalaman Borneo adalah manusia-manusia yang sadar hidup di antara banyak kehidupan lainnya. Mereka sangat paham dengan keseimbangan. Mereka pelihara hutan, mata air, kebun dan ladang untuk jaminan berlangsungnya seluruh kehidupan. Mereka sangat mengerti balas budi. Segala yang telah diambil pada waktunya diserahkan kembali. Pantang bagi mereka menganggap tanah dan hutan sebagai warisan, sehingga dengan seenaknya dibagi-bagi!


Dengan segenap penghayatan, tarian tingang dipersembahkan. Dengan sepenuh perasaan, nyanyian ladang pun disenandungkan:

inilah ladang, keringat darah para moyang :
batang kayu rebah di Lewu Batu
baur membaur dupa gaharu

inilah ladang, keringat darah indu bapa :
gubuk bersirap anyaman sagu
asap menempel pada dinding berlatu

inilah ladang, keringat yang meresap sampai ke tulang :
pada tanahnya yang hangat lembut
kami tancapkan tugal berkali-kali
menggerakkan hasrat bumi yang masir
untuk bersegera membuai benih padi
di antara dahan-dahan durian
kami teriakkan kotek tingang bersautan
biar terbang mengibaskan putih gemawan
menggores hitam menjadi berkah hujan

inilah ladang, keringat yang menguap dibasuh lelap :
tangkai tangkai yang dipetik gadis udik
jemarinya menggetarkan dawai kecapi
mengiringi angin beraroma nyatu
mengalun syahdu tiupan bambu *)
***
Kemudian:
Entah sejak kapan dan dimulai dari mana, tiba-tiba di tengah rimba di atas bukit-bukit itu bermunculan binatang aneh yang membuat panik seisi hutan. Sosoknya yang besar, dipenuhi sisik keras kuning perak di sekujur badannya dan moncong lebar penuh dengan taring tajam serupa gading membuat merinding para predator berdarah dingin. Terlebih lagi adalah tingkah mereka yang serampangan membuat onar yang hingar bingar: bising, berdebam dan berat. Menggasak semak-semak sampai tunggak, melindas tunas-tunas hingga tuntas. Bagai diterpa ribuan puting beliung, pohon-pohon tumbang tanpa ampun. Laksana diterjang selaksa bandang, batang-batang hanyut terbuang hingga muara. Seketika belantara porak poranda, tak bersuara...
***
Berhari-hari, bulan dan tahun kemudian, monster bertulang baja serentak menuruni bukit-bukit gundul, merayapi lembah-lembah subur. Dan pada gilirannya: abrakadabra...! Karet dan langsat di kebun-kebun, padi dan pisang di ladang-ladang sirna seketika. Kiamat seperti dipaksa datangnya. Segala yang hidup binasa, segala yang tumbuh kembali rata. Nyaris tanpa penghalang, batalyon kavaleri itu bergerak, berserak, gaduh dan mematikan!
Suara-suara asing mesin-mesin penjagal itu lalu menguap dan tertangkap butir-butir udara, terbawa angin dari Utara, mengendap perlahan lantas mengguyur bersama hujan. Hingga pada suatu malam yang berselimut kabut, dengungan itu menyergap cepat bagai sekawanan lebah hutan, berbondong-bondong menyengat kepala-kepala tak berdaya. Racun yang ganas menghantui mimpi-mimpi para penghuni perkampungan di pinggir kali - yang telah lama tercemari. Menyiutkan nyali!
Itu belum selesai. Belakangan baru disadari bahwa monster penjagal itu juga berlidah api. Tidak cukup rupanya hanya mendorong batang dan mencongkel tunggak. Dengan dalih menambah “kesuburan” tanah yang dibuka lahan perkebunan sawit, orang mesti membakar habis tumbuhan apapun di atasnya, pohon raksasa sampai jamur mungil pun!
Itu pulalah yang terjadi. Ketika Ulan menengok ladang dan kebunnya, di depan mata terpampang pemandangan yang serta merta mematahkan daya hidupnya. Areal yang akan dibuka untuk sawit sedang membara, lidah apinya telah pula menghanguskan ladang dan bahkan kebun karet miliknya. Panas api yang menyulut kayu gubuk humanya sampai di ujung tiang terakhir telah menjilat ubun-ubunnya. Sejurus berlalu, asap putih berubah kelabu, lalu hitam tebal menggumpal menjadi halimun beracun yang menggerogoti paru-paru istrinya yang rapuh, memerihkan mata-mata bening yang meleleh karena terpanggang bara.
Kenyataannya, emas hijau bagi orang seperti Ulan adalah arang yang merah, abu yang mengharu, awan dendam yang diam-diam mulai bersarang di dada Ulan.
***
Nah, sekaranglah saatnya! Ketika sisa suara binatang malam dibalut dingin kemarau menggesekkan symphoni menyayat: dendam harus dilunaskan! Bila tidak, uluh sendiri yang habis termakan! Tapi siapa gerangan yang harus dienyahkan?!
Ia hisap dalam-dalam sebatang rokok keretek, mengepulkan asapnya, mengusik beberapa kumbang yang sedari tadi berdengung-dengun, berputar di sekitar kepalanya menarikan Tiwah Penghabisan. Sekelebat terngiang kembali waktu gerigit roda-roda baja bermanuver di tanah-tanah himba tanpa tawar. Jutaan buah tengkawang berhamburan. Batang kokoh banggeris teriris-iris mengacaukan kawanan lebah hutan.
Sesaat pupil matanya memutih dipenuhi gambar kaum kerabat yang bersemayam di atas sandung dan dijaga sapundu-sapundu keramat. Tank-tank itulah yang menghancurkan kampung peristirahatan para moyang. Sekarang mesiunya pun menghangus-abukan sanak saudaranya yang tersisa.
“Bangsat, keparat! Tak takut kau pada kualat!” Matanya memicing lalu memejam. Gerahamnya gemeretak, membuyarkan tarian kumbang.
***
Malam menjelang luruh. Bulan penuh bertengger di langit keruh. Beberapa penjaga malam dan karyawan Perusahaan Perkebunan Sawit yang sedang lembur dikejutkan oleh kegaduhan di pelataran belakang gudang. Mula-mula suara bising itu seperti yang sehari-hari mereka dengar, namun lama-kelamaan bunyi itu meraung-raung menjadi-jadi, tak terkendali.
Keheranan segera berubah takjub mengerikan ketika mata-mata mereka menangkap pemandangan yang sangat tidak masuk akal. Seseorang bertelanjang dada bermata beruang berkilat-kilat bergelut dengan sosok binatang melata berkaki delapan yang dipenuhi sisik kuning perak di sekujur badannya yang kuat dan besar. Suara raungan yang mendirikan bulu kuduk itu berasal dari rongga mulutnya yang menganga penuh dengan taring-taring serupa gading. Dalam sekali caplok pasti sepuluh orang akan habis dikunyahnya. Tapi nampaknya tak sedikit pun menyiutkan nyali seseorang bermata beruang.
“Rasakan! Kuhabisi Kau! Auuuuwww..!!!” Teriakan Mata Beruang melancarkan jurus-jurus mautnya tepat pada sasaran, sehingga binatang raksasa itu meraung-raung kesakitan.
“Hrrrrrr......! Hrrrrr....! Gedebummm!” Roboh, menggelepar tubuh berat berdebam.
“Aaaaaaaauuuuuwww.....!” Dalam beberapa hitungan, Mata Beruang telah duduk di atas lehernya dan meneriakkan kemenangan. Kesumatnya baru saja terlampiaskan.
“Hrrrrr.... hrrr.....! Auuuwww....! Hrrrrr.... hrrr..... hrrrrrrr...! Auuuwww....!” Berdiri sempoyongan raksasa bermata merah menyala, sejurus kemudian berputar-putar kesetanan membuat onar di camp perkebunan. Di atasnya Sang Pawang Mata Beruang setengah berdiri menunggangi, sambil terus menerus berteriak penuh kemenangan.
Dengan kendali Mata Beruang, raksasa kuning perak itu mengobrak-abrik isi gudang, bengkel dan akhirnya merobohkan genset besar hingga seluruh areal camp gelap gulita. Suara panik para buruh dan karyawan semakin riuh bertumpangtindih dengan teriakan-teriakan satpam mengomando orang-orang untuk tetap bertahan di dalam barak.
“Hrrrrrrrr..............!” Raksasa berhenti sejenak, meraung panjang, dengan mulut menganga ke atas dan lidah api menjulur menjangkau bulan. Secepat kilat meninggalkan camp menuju areal perkebunan.
Sesaat hening, bulan pucat pasi, kemudian suara gedebam berkepanjangan, raungan dan teriakan miris tak habis-habis....
***
Seluruh tanah perkebunan berlatar akar-akar bergelimpangan, batang-batang dan pelepah-pelepah yang hangus terbakar. Di salah satu sudut areal sebuah bulldozer terjerembab di kubangan besar. Penyok penuh goresan. Mata pisau bajanya rompal, melengkung dan patah di tangkai kanan. Dua sisi roda tanknya sudah tak berantai, lepas berserak di antara tanah dan batu yang tercabik-cabik. Tapi tak ada bau anyir, tak ada tapak. Hanya teriakan panjang :
“Auuuuuuuuwwww.........!”
Begitulah, Kawan. Padahal pagi sudah merah!

***

Palangka Raya, Maret 2008, Januari 2010

Tidak ada komentar: