Alhamdulillah & terima kasih anda berkunjung di blog ini, mohon saran dan masukan yang positif

Selasa, 10 Juli 2007

Antara Yang Salah Kaprah dan Yang Nyaris Dilupakan



Nama yang salah kaprah
Seringkali orang salah kaprah dengan namanya, padahal kalau salah diucapkan atau ditulis, bisa mengakibatkan salah maksud. Orang hutan, begitulah biasanya disebut, padahal ejaan yang benar untuk spesies endemik yang hanya ada di Pulau Kalimantan (Borneo) dan Sumatera ini adalah Orangutan (Pongo pygmaeus). Kata yang disebut awal bisa bermakna orang yang hidup atau berasal dari hutan, sebagaiman istilah untuk orang kota, orang desa atau orang kampung.


Taksonomi untuk hewan yang postur tubuhnya mirip manusia ini termasuk dalam phylum chordata (hewan bersaraf tunjang), subphylum vertebrata (hewan bertulang belakang), class mammalia (hewan menyusui), order primates, famili pongidae, genus pongo dan species pygmaeus. Orangutan merupakan mamalia pendaki pohon terbesar, yang bergerak dari satu pohon ke pohon lain dan enggan menginjak tanah. Ini sesuai dengan ciri fisik yang dimilikinya yaitu lengan dan tangan yang sangat kuat, sedangkan kakinya relatif pendek dan lemah. Apabila sedang menginjak tanah, orangutan bergerak dengan tangan yang mengepal di tanah.

Beberapa ciri Orangutan Borneo (Pongo pygmaeus pygmaeus) yaitu :
1.Bulunya berwarna coklat kemerahan;
2.Panjang tubuhnya kurang lebih 1,25 s/d 1,5 meter;
3.Berat betina dewasa 30 s/d 50 Kg dan jantan 50 s/d 90 Kg;
4.Tangannya sangat panjang, hingga 2 meter;
5.Jantan dewasa dibedakan karena ukurannya yang besar, terdapat kantong tekak/tenggorokan dan gelambir pipi (cipet) di kedua sisi wajahnya, yang terdiri dari jaringan ikat yang lemah. Cipet ini mulai nampak pada umur sekitar 10 tahun.
Ada perbedaan ciri-ciri fisik antara Orangutan Borneo dan Orangutan Sumatera (Pongo pygmaeus abelii). Rambut di wajah Orangutan Borneo lebih sedikit dibandingkan dengan saudarnya yang dari Sumatera. Orangutan Borneo mempunyai kantong tekak dan cipet yang lebih tebal dan besar serta bentuk muka yang lebih persegi.

Kemiripannya dengan manusia tidak saja dalam ciri fisik yang dimiliki, khususnya postur tubuhnya, lebih dari itu keduanya serupa dalam hal beberapa penyakit yang bisa menjangkiti sekaligus menular, diantaranya sakit perut, gatal, influenza, cacingan dan hepatitis. Obat yang digunakan dalam proses rehabilitasi selama ini juga identik dengan obat untuk manusia dengan dosis yang lebih besar.

Orangutan biasa membuat sarang di atas pohon dengan bahan dari daun-daunan dan ranting yang dibentuk seperti kantung tidur. Sarang ini sebagai tempat untuk tidur di malam hari dan istirahat di siang hari. Dalam kondisi biasa, sarang ini dibuat untuk masing-masing baik jantan maupun betina, namun pada musim kawin si betina akan membuat sarang lebih besar sebagai pelaminan bagi pasangannya. Orangutan dewasa siap kawin pada umur 12 – 15 tahun. Musim kawin biasanya ditandai dengan perkelahian antar pejantan dalam memperebutkan calon mempelai. Setelah diketahui pemenangnya, keesokan harinya si betina akan menghampiri “pejantan tangguh” untuk kawin di sarang yang telah dipersiapkannya. Pejantan ini termasuk tipe yang kurang setia. Kesetiaannya pada pasangan hanya bertahan selama kawin hingga betina mengandung. Segera setelah itu ia siap mengawini betina lainnya. Bayi orangutan yang lahir mencapai berat sekitar 1,6 Kg dan akan disusui serta diasuh induknya hingga umur 3 tahun.

Habitat asli orangutan adalah dataran rendah dan rawa-rawa hutan hujan tropis di wilayah Kalimantan dan Sumatera. Hal ini sangat berkaitan dengan ketersediaan sumber makanan dan tempat hidup yang sesuai dengan perilaku mereka. Makanan alami orangutan diantaranya adalah buah-buahan hutan, pucuk daun, kulit kayu dan umbut (bagian batang yang lunak) dari jenis palem-paleman serta semut dan rayap. Jenis tumbuhan yang biasa dimakan antara lain dari kelompok ficus (beringin), pandan, palem dan rotan), polong-polongan, durian, nyatoh, meranti dan lain-lain.
Daerah jelajah orangutan meliputi radius berkisar 3 – 4 Km dari pusat “permukimannya”. Pada musim penghujan, biasanya mereka masuk ke dalam hutan dan bersarang di kelebatan pohon hutan tropis, namun pada musim kemarau yang sulit air, mereka pindah ke belukar dekat rawa atau sungai. Pada saat inilah seringkali mereka bersinggungan dengan manusia yang seringkali mengancam kelangsungan hidup mereka.

Orangutan umumnya bertahan hidup hingga umur sekitar 30 – 35 tahun apabila hidup di alam bebas, namun bila dipelihara bisa mencapai umur 50 tahun. Di habitat aslinya, setelah memasuki umur tua orangutan akan menyendiri dan bergerak lamban di pohon-pohon yang rendah seiring dengan berkurangnya tenaga. Ini mempermudah untuk mendapatkan sumber air minum yang berasal dari mata air, rawa maupun sungai.

Yang hampir dilupakan
Kahiu adalah nama lokal untuk orangutan di Kalimantan Tengah. Bagi kebanyakan masyarakat asli Dayak, apalagi bagi para pendatang, Kahiu agaknya hampir tidak pernah terdengar, mengingat selama ini pemberitaan mengenai spesies ini lebih sering menggunakan nama orangutan. Meskipun demikian, sebenarnya Kahiu telah lama menjadi maskot fauna di Kabupaten Kotawaringin Barat, salah satu kabupaten di wilayah barat Kalimantan Tengah. Dipilihnya Kahiu sebagai maskot jelas bukan tanpa alasan, karena sebenarnya salah satu habitat terbesarnya adalah belantara yang berada di Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP), dimana sebagian besar arealnya terletak di wilayah Kabupaten Kotawaringin Barat.

Ada kisah pilu yang nyaris hilang. Belantara hujan tropis dan rawa-rawa di kawasan konservasi TNTP sebenarnya masih menyimpan sepenggal kisah dari Kosasih, si Tua yang telah merasakan kerasnya perjalanan hidup sebagi orangutan. Kisah itu berawal sekitar Tahun 1980-an, ketika terjadi pembunuhan seekor induk orangutan dengan meninggalkan seekor bayi jantan yang akhirnya diasuh dan dipelihara oleh masyarakat. Pada saat itu tengah gencar-gencarnya disosialisasikan pelestarian spesies langka ini. Dengan kesadaran sendiri, masyarakat menyerahkan asuhannya kepada Sub Balai TNTP untuk dikembalikan di alam. Tidak berapa lama diasuh, bapak angkatnya yang bernama Kosasih, Kepala Sub Balai TNTP, merasa lebih baik jika si bayi diserahkan kepada panti asuhan yang lebih menjamin kehidupannya. Panti itu bernama Pusat Rehabilitasi Orangutan Tanjung Puting dan sejak itu si bayi jantan dipanggil dengan nama Kosasih.

Kosasih tinggal di base camp dan menjalani proses karantina selama 3 – 4 bulan pertama. Kesedihannya ditinggal induk yang menyayanginya sedikit terobati dengan belaian para inang pengasuh. Keperluan gizi dan kesehatannya terjamin, hingga pada umur 2 – 3 tahun mulai dilatih naluri alaminya dengan uji coba hidup di habitat aslinya. Selama setahun lebih ia bolak-balik ke base camp untuk memenuhi hajatnya yang belum sepenuhnya diperoleh dari alam, hingga umur 4 - 5 tahunan kemudian ia mulai jarang kelihatan dan hilang di kelebatan rimba yang liar namun bersahabat. Selang 10 tahunan berjalan, pernah sekali waktu ia menengok rumah asuhannya, ia telah berubah menjadi pejantan tulen, dengan gelambir tebal di kiri - kanan wajahnya. Sekian lama setelah itu, kabar beritanya jarang terdengar dan mestinya sekarang ia mulai hidup menyendiri, menikmati masa tuanya. Barangkali anak-anaknya kini telah menjadi penghuni asli rimba TNTP, paling tidak ia telah menurunkan generasi penerusnya dan berharap tidak mengalami nasib buruk seperti masa kecilnya.

Demikianlah.
Dalam perjalanan sejarahnya, manusia nampaknya bersikap mendua terhadap orangutan, yaitu sebagian memusuhi sebagian lainnya menyayangi. Namun yang patut disayangkan adalah kedua-duanya berujung pada perburuan terhadapnya, dari yang dewasa sampai yang masih bayi, dengan berbagai alasan, dari pembantaian karena dianggap hama sampai dengan untuk hewan peliharaan yang sangat dimanja, sesuai dengan sifatnya yang tergolong mudah dijinakkan. Semua itu mengakibatkan populasinya di alam cenderung mengarah pada kepunahan. Ditambah lagi dengan semakin gencarnya manusia melakukan okupasi dan merambah hutan untuk berbagai kepentingan telah mengakibatkan habitat asli orangutan semakin menciut. Inilah agaknya yang menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup spesies semakin langka ini.

Saat ini populasi Orangutan Borneo di alam diperkirakan sebanyak kurang lebih 40.000 s/d 55.000. Di Kalimantan Tengah mereka tersebar di habitat alami Taman Nasional Tanjung Puting, Taman Nasional Bukit Raya – Bukit Baka dan Taman Nasional Sebangau. Sebagian orangutan yang diperoleh dari masyarakat telah direhabilitasi di Pusat Rehabilitasi Orangutan yang ada di Taman Nasional Tanjung Puting maupun Klinik Reintroduksi Orangutan di Kawasan Nyaru Menteng dan beberapa diantarnya telah dikembalikan ke habitat aslinya. Upaya ini perlu mendapat perhatian dan dukungan dari masyarakat luas untuk menyelamatkan dan melestarikan “saudara tua” yang kini mendapat julukan tambahan yang lebih manis yaitu Si Pongi, maskot petugas jagawana, penjaga hutan di seluruh Indonesia.

Akhirnya, di antara yang salah kaprah atau yang nyaris dilupakan, terselip sebuah kekhawatiran besar : kalau-kalau pada suatu saat yang dekat, semuanya hanya TINGGAL NAMA……

2 komentar:

icHaaWe mengatakan...

tau gak sih..waktu aku di Jerman dulu, banyak banget iklan2 tentang orang utan. Tp yg promosi Malaysia ( kan bagian borneo, Indonesia lbh luas dibanding Malaysia )... sebel kan ..
ayo dong Indonesia ... tepatnya Kalimantan,banyak2 promosi diluar negri ... biar kedatengan banyak turis ..kan lumyan buat devisit negara

Nanda mengatakan...

Mahluk Tuhan yang satu ini ( Orang Utan ) memang adanya di Indonesia saja, kalau negara lain ada Orang Utan nya... berarti negara Indonesia telah menyumbangkan/tukar satwa antar negara. Omong omong -ugiborneo- punya video rekaman orang utan lagi kawin, tidak ?