Apa yang terbayang ketika membicarakan kelebatan belantara Kalimantan? Tentu pada awalnya terbayang hutan yang lebat dan dihuni oleh berbagai makhluk menyeramkan, termasuk binatang buas yang siap menerkam siapa saja yang berani mengusiknya. Hewan apa yang paling buas di sana? Yang belum pernah menjelajah rimba kalimantan kebanyakan membayangan adanya Singa, Harimau, Beruang dan yang seram-seram dari penghuni kebun binatang. Tenyata, lain ladang lain belalang! Hutan tropis basah tidak menarik bagi Si Raja Rimba, karena tidak cukup makanan dan tempat istirahat yang nyaman baginya. Yang ada adalah suasana lembab belantara yang disukai makhluk melata seperti Ular dan sungai-sungai pangjang dan lebar serta rawa-rawa yang dikuasai oleh : BUAYA! Yang terakhir inilah nampaknya makhluk yang selalu mengintai dan paling menghantui kenyamanan kehidupan di sekitarnya.
Agak sulit rupanya untuk mencari kaitan secara tekstual perihal buaya dengan kehidupan masyarakat lokal (Dayak). Di dalam kitab suci, mitos maupun legenda yang umumnya disampaikan secara lisan jarang sekali ditemukan cerita khusus mengenai buaya. Namun demikian, nampaknya ada sedikit informasi yang dikaitkan dengan akibat buruk atau adanya ancaman terhadap kedamaian hidup. Tersebut dalam Kitab Panaturan, buku kumpulan Ajaran Kaharingan, antara lain pada saat melaksanakan upacara adat Tawur Mensucikan, yaitu membuang pengaruh-pengaruh buruk bagi keluarga dan lingkungannya, terdapat kalimat pada Ucapan Balian Manjung Tawur (Pasal 44) yang berbunyi : Gelap gulita di atas Mihing ... (76), Siapa gerangan di antara kalian anak-anak berbuat kesalahan? (82), Telah membuat gambar buaya di atas tanah (85). Secera tektual, membuat gambar buaya diatas tanah dapat diartikan akan membawa petaka dan bencana bagi masyarakat, dan secara kontekstual bisa bermakna kecerobohan karena tidak memiliki ilmu yang mengakibatkan perbuatan yang tidak pada tempatnya/tidak selaras dengan pola kehidupan yang telah mapan. Ini akan berakibat buruk bagi keseluruhan tatanan kehidupan masyarakat, sehingga perlu dibersihkan melalui upacara adat.
Berita yang mengejutkan telah dimuat Harian Lokal beberapa bulan terakhir. Seorang penduduk lokal diserang buaya dan jasadnya raib tidak tahu rimbanya. Ini jelas menimbulkan amarah dan dendam bagi keluarga dan mesyarakat yang ditinggalkannya. Mereka bersepakat untuk melakukan pembalasan, dengan mencari dan menangkap buaya yang diduga pemangsanya. Berkat kepiawaian pawang dibantu penduduk. beberapa ekor buaya telah ditangap. Agaknya sulit untuk membuktikan buaya mana sebagai tersangka utama, kecuali dengan mendapatkan barang bukti. Ya..., satu persatu perut buaya dibedah. Tidak ditemukan apa-apa kecuali bangkai makanan biasa. Bagaimana proses selanjutnya? Sebagai jalan tengah atas penyesalan dan kemarahan yang belum reda, dilakukan upacara ............. yakni ..... dengan harapan arwah buaya-buaya tidak bersalah tersebut akan menuntut balas terhadap Si Pemangsa. Begitulah.
Nasib sang pengintai ternyata tidak sehebat yang dibicarakan orang. Di pasar-pasar, tukang obat seringkali memamerkan tangkur – alat kelamin jantan - buaya, sebagai salah satu ramuan obat penguat vitalitas dan kejantanan pria.
Di jaman kontemporer kini, nampaknya buaya tidak lagi dianggap sesuatu yang menyeramkan, bahkan menjadi kiasan yang bernada gurauan, seperti tercantum pada sampiran syair lagu Saluang Kiti-kiti yang sering dimainkan oleh Bung Marion, penyanyi balada Dayak-Banjar berikut :
Saluang Kiti – Kiti, Bajai penda batang,
(Ikan saluang (bader?) berenang-renang di permukaan, buaya bersembunyi di dalam sungai ......)
Rabu, 05 Maret 2008
BAJAI PENDA BATANG
Label: padang himba
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Terima kasih untuk blog yang menarik
Posting Komentar