Alhamdulillah & terima kasih anda berkunjung di blog ini, mohon saran dan masukan yang positif

Rabu, 26 Maret 2008

Memperjuangkan Kawasan Kelola Masyarakat Adat

Perjalanan Kemilikan Tanah Dayak Di Kalimantan Tengah

Sejak jaman dulu tanah merupakan sebuah harta kekayaan yang menjadi sumber penghidupan dan kehidupan suku Dayak di Kalimantan Tengah dengan sebuah pengertian Tanah adalah darah dan napasku, tanah adalah jiwa penghidupanku, tanah adalah tempat tinggalku, tanah adalah harta warisanku dan banyak lagi ungkapan orang Dayak dalam menghargai dan mengkeramatkan tanah dengan berbagai makna serta ungkapan yang secara nyata, juga menjadi bagian dari kebidupan suku dayak di Kalimantan Tengah dan sampai sekarangpun masih dapat diterjemahkan ungkapan tersebut.

Suku Dayak Kalimantan Tengah secara umum mengungkapkan pengelolaan tanah air (Petak Danum) dengan menganut beberapa konsep material yang bermakna walaupun dengan peruntukan yang berbeda-beda seperti : (1) Petak Sahep, (2) Petak Kaleka, (3) Petak Batuah/Panatau, (4) Petak Himba, (5) Petak Bahu, (6) Petak Bahu Lakau, (7) Petak Bahu Himba, (8) Petak Tajahan, (9) Petak Panenga, (10) Petak Palaku, (11) Petak Pamatang, (12) Petak Baruh, (13) Dan banyak lagi tanah (petak) yang diungkapkan sesuai dengan kegunaan dan juga nilai kultur dalam mengartikan tanah. Dari semua kata ungkapan nama tanah ini, sebagian besar merupakan tanah yang masih dianggap memiliki nilai budaya dan adat oleh masyarakat Dayak Kalimantan Tengah serta masih dimiliki oleh masyarakat baik secara adat maupun ulayat (tanah kepemilikan secara berkelompok atau turun temurun/warisan). Tanah adat di ungkapkan masyarakat sejak dahulu kala dimana sampai pada jaman penjajahan tetap disebut tanah adat atau ulayat. Sebagian besar tanah-tanah itu diakui oleh pemerintah jajahan seperti Belanda dengan membuat pengakuan yang disebut Veklaring bagi pemilik tanah yang memiliki tanam tumbuh diatasnya seperti kebun karet, rotan, pertanian dan juga sungai kepemilikannya diakui pada saat itu. Sebagian tanah yang dimiliki secara adat pun ada memiliki surat kepemilikan secara adat (surat adat tertulis) yang disahkan pada jaman pemerintahan Kewedenaan (wedena) atau Tamanggung berkisar antara tahun 1802, 1918 sampai 1942.

Menurut suku Dayak Kalimantan Tengah jaman dahulu, tanah adat dimiliki masyarakat dengan beberapa hal diantaranya :
1.Tanah pembagian untuk berkebun atau bertani yang dibagikan oleh Pangirak atau Kepala Padang sebagai tempat berusaha (sekarang disebut Kepala Handel atau pada tingkat pemerintahan desa berada di Kepala Urusan Pemerintahan/Umum).
2.Tanah dimiliki secara turun temurun (Kekeluargaan).
3.Tanah diperoleh dari warisan.
4.Tanah diperoleh dengan cara barter (pertukaran barang).
5.Tanah diperoleh dari jual beli (surat adat atau surat segel).

Rentetan Status Kepemilikan Tanah

Secara inklusif, kepemilikan tanah harus dengan pengakuan kepemilikan, baik yang diakui oleh masyarakat atau disebut tanah adat (milik individu, kelompok, warisan), maka dapat disarnpaikan bahwa rentetan kepemilikan tanah seharusnya melalui sejarah kepemilikan secara adat sampai pada tingkat kepemilikan yang berdasarkan aturan pemerintah. Pengakuan itu diantaranya adalah sebagai berikut :
1.Surat pengakuan kepemilikan tanah secara adat atau surat adat.
2.Surat pengakuan kepemilikan tanah dengan segel adat atau surat segel.
3.Surat pengakuan tanah oleh pemerintah Belanda (jaman penjajahan) berupa surat Veklaring.
4.Surat kepemilikan tanah (SKT).
5.Sertifikat tanah.

Mengapa orang dayak atau masyarakat di daerah pedalaman tidak mengikuti perkembangan jaman dalam membuat kepemilikan tanah adat menjadi sertifikat tanah sesuai Undang-Undang Pokok Angraria walaupun sebagian masyarakat sudah membuat sertifikat kepemilikan tanah? Penyebabnya antara lain :
1.Kultur budaya yang sangat kental melalui pengakuan Tanah Adat secara turun temurun atau secara kolektif.
2.Tanah adat yang dimiliki secara berkelompok atau turun temurun yang dimiliki lebih dari satu orang sehingga sulit untuk membuat pengakuan hak atas tanah.
3.Letak geografis kepemilikan tanah berada di daerah pedalaman.
4.Pembiayaan pembuatan sertifikat dianggap sangat mahal dan harus mengeluarkan biaya ekstra untuk pengukuran tanah karena lokasi kepemilikan tanah berada pedalaman.
5.Adanya peluang kepemilikan tanah hanya sebatas pada Surat Keterangan Tanah (SKT) saja dari pemerintah desa atau kecamatan.

Pengakuan Tanah Dan Pengelolaan Kawasan

Semakin kuatnya posisi masyarakat untuk tetap mengakui tanah adat sampai saat ini, banyak kalangan mempertanyakan apakah ada kebenaran atau hanya teriakan semata dalam mempertahankan tanah adat? Jawabnya ya karena selama ini rakyat tidak diberikan pengakuan secara moral bahwa itu memang posisi yang harus dipertegas kembali.

Pada jaman ini, keselarasan pembangunan pun harus memperhatikan nilai-¬nilai budaya ditingkat masyarakat. Hal ini perlu kita simak bahwa perilaku masyarakat Dayak yang mempunyai toleransi yang tinggi dalam segala hal, namun perlu diperhitungkan bahwa bila terdesak, masyarakat dapat melakukan apa saja yang dianggap menginjak harkat dan martabatnya kalau selalu ditindas oleh pembangunan. Pengakuan adat sudah dilakukan secara turun temurun, dari generasi ke generasi, hanya jaman selalu menjadi penghalang berkembangbiaknya adat di Kalimantan Tengah. Dapat dicontohkan tentang sebuah gerakan masyarakat adat bersarna antara lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam memperjuangkan adat untuk tetap diperhatikan dan memperkuat posisi masyarakat adat terhadap negara. Masyarakat adat selalu terdesak oleh pembangunan yang tidak memperhatikan nilai-nilai adat istiadat dan kearifan-kearifan lokal.

Dalam memperjuangkan posisi masyarakat adat terhadap negara tentu sangatlah sulit dan butuh waktu serta kesempatan yang tepat. Beberapa rangkaian yang dilakukan oleh LSM Yayasan Petak Danum Kalimantan Tengah di Kuala Kapuas Kalimantan Tengah bersama masyarakat adat dalam memperjuangkan posisi rakyat ini antara lain :
1.Memperjuangkan hak otoritas pengelolaan sumberdaya alam gambut untuk menghadang proyek pengembangan lahan gambut 1 juta hektar sejak tahun 1994.
2.Rapat Besar Kadamangan Adat tahun 1998 di Ampah Kabupaten Barito Selatan.
3.Pertemuan Kadamangan Adat Kabupaten Banito Selatan dan Kapuas 1999 di Kuala Kapuas.
4.Lokakarya Kadamangan Adat untuk menyusun strategic planning dalam mensosialisasikan adat sebagai alat perjuangan dalam menekan semakin hilangnya adat istiadat masyarakat akibat pengaruh jaman tahun 1997.
5.Memperjuangkan adanya pengakuan atas tanah adat dan hak mengelola sumberdaya alam bagi masyarakat adat di kawasan tanah rawa gambut. Menghasilkan Siaran Pers Gubernur Propinsi Kalimantan Tengah tahun 1998 Point 5 bahwa sepanjang sepadan kiri-kanan sungai sejauh 5 km sebagai tempat masyarakat berusaha dan mengelola kawasan.
6.Lokakarya penyusun aturan adat pengelolaan sumber daya alam dan kawasan ekosistem air hitam di Kabupaten Barito Selatan tahun 2000.
7.Lokakarya penyusun aturan adat dan draf Perda tentang Pengelolaan Kawasan Ekosistem Air Hitam di Kabupaten Barito Selatan tahun 2001.
8.Memperjuangkan hak-hak kepemilikan tanam tumbuh milik masyarakat yang terkena kegiatan pengembangan lahan gambut 1 juta hektar untuk mendapatkan santunan ganti rugi sejak tahun 1995-2004.
9.Memperjuangkan Batas Kawasan Kelola Masyarakat Adat dalam bentuk Perda Kabupaten Kapuas.

Akibat pembangunan yang tidak memperhatikan aspirasi masyarakat, banyak perubahan-perubahan yang terjadi ditingkat masyarakat khususnya dalam pemanfaatan potensi sumberdaya alam seperti sektor kehutanan, perkebunan, pertambangan, dan sektor lainnya yang membuat masyarakat semakin terpinggir dan terpojok. Selain masyarakat juga terlibat dalam sektor diatas sehingga berakibat pula pada pengelolaan sumberdaya alam yang sejak dahulu sudah dilakukan masyarakat dengan arif dan bijaksana menjadi semakin hilang. Contohnya pembabatan hutan dimana sekarang semakin merajalela. Sektor ini dapat dilihat banyak masyarakat yang terlibat illegal logging yang dibekingi oleh cukung kayu dan HPH sehingga adat menjadi hilang dalam pemanfaatan sumber daya alam dimana jaman dahulu ada sanksi adat tebang 1 tanam 10.
Dengan melihat posisi masyarakat zaman sekarang yang semakin terhimpit usaha untuk mencari makan, mereka dapat melakukan apa saja yang penting dapat uang baik legal maupun ilegal sebingga seing terjadi masyarakat ditangkap aparat. Dengan melihat kondisi ini, sudah waktunya untuk dibatasi dengan sistem pengelolaan secara adat untuk menghindari terjadinya illegal logging, terkurasnya sumber daya alam dan adanya aturan adat yang mengikat masyarakat untuk tidak berbuat seenaknya terhadap sumberdaya alamnya sendiri sehingga diharapkan adanya keberlangsungan hidup yang saling ketergantungan antara alam dan manusia.

Penulis Muliadi (Direktur Eksekutif Yayasan Petak Danum, Kapuas, Kalimantan Tengah).




1 komentar:

Ikal's Haura mengatakan...

memang siih, Kaciiianlah nasib hutan kita.. adat memang harus dipertahankan.. but..!!! harus hati2 orang2 adat yang mana dulu? apakah org adat yg sudah tercampur dengan aroma Ekonomi atau adat yang pure dan menjunjung tinggi adat istiadat?

Semoga hutan kita tetap jaya...!!!