Alhamdulillah & terima kasih anda berkunjung di blog ini, mohon saran dan masukan yang positif

Selasa, 10 Juli 2007

Jagung Bakar Sambal Terasi...


Sebenarnya perkampungan ini lebih mirip dengan desa agraris di Jawa, padahal letaknya di tengah-tengah Pulau Kalimantan, yang konon terkenal dengan kerimbunan rimbanya! Memang demikianlah adanya, desa itu terletak tidak jauh dari ibukota Propinsi Kalimantan Tengah, tepatnya di ujung Timur batas Kota Palangka Raya yang berjarak kurang lebih 25 Km. Kelurahan Kalampangan, sebuah nama yang cukup terkenal di kalangan masyarakat kota, karena dari sanalah berbagai keperluan dapur para ibu dipasok ke kota dalam keadaan masih cukup segar. Ya, memang masyarakat transmigran asal Yogyakarta yang sudah bermukim lebih dari 20 tahun ini terkenal cukup ulet dalam mengolah lahan gambut di pekarangan dan di sekitar desa untuk bercocok tanam berbagai jenis tanaman hortikultura semusim, khususnya jenis sayuran dan palawija. Ada bayam cabut, kangkung darat, sawi, bawang, bahkan kol dan melon serta yang tidak kalah menarik adalah…..jagung manis!


Lantas apa yang menarik untuk diperbincangkan dari setongkol jagung manis? Masalahnya bukan terletak pada jagung manis yang tiap sore dan malam hari berubah wujud menjadi jagung bakar beraneka rasa yang bisa dinikmati di Bundaran Besar-Pusat Kota bersama teman dan keluarga, namun istimewanya terlebih karena jagung inilah menjadi bukti otentik dan faktual terhadap keberhasilan sebuah perjuangan panjang mengolah lahan margin yang cukup sulit diolah: lahan bergambut tebal! Adalah seorang Cipto Wiharjo, petani transmigran yang dengan gigih ingin membuktikan bahwa manusia dibekali kamampuan untuk memanfaatkan alam sesulit apapun kondisinya. Berawal dari segenggam biji jagung pemberian seorang kawan yang Pejabat, ditanam dan dirawatnya dengan setia hingga pada saatnya berbuah dengan memuaskan. Bukan dia saja yang terkejut dan bangga dengan hasil kerjanya, namun seluruh masyarakat setempat mulai meniru dan merasa ikut memiliki produk yang kini jadi andalan desa tersebut, hingga saat ini dengan mudah para pelancong dan pejalan yang lewat dapat membelinya di pinggir jalan trans Kalimantan dan membawanya sebagai oleh-oleh.

Tapi itu semua dilalui dengan cucuran keringat mengolah lahan gambut. Nah, ceritanya menjadi panjang ketika kita berbicara masalah pengolahan lahan gambut. Bagi petani asal Jawa yang terbiasa mengolah tanah berlempung, baik sawah untuk lahan basah dan tegalan untuk lahan kering, mereka sangat terkejut dengan kondisi lahan yang sama sekali berbeda: berladang di lahan bekas belukar rawa gambut. Apa yang bisa dikerjakan dengan lahan yang tidak produktif seperti itu? Setengah ragu mereka menjawab dengan berbuat dengan bekal pengalaman dan semangat. Perlahan namun pasti, belukar rawa yang tidak sedap dipandang mata mereka “garap” bersama-sama menjadi sebuah pemandangan desa yang subur loh jinawi.

Bagaimana bisa? Beginilah ceritanya. Lahan yang telah dibagi dalam petak-petak penggarapan mereka kerjakan secara berkelompok dan bergiliran melalui teknik pembakaran terkendali. Pada musim kemarau, pohon dan semak mereka tebang-tebas dan dikeringkan secukupnya untuk kemudian dilakukan pembakaran. Menggunakan kearifan tradisional (indegenious knowledge) mereka menerapkan teknik membakar yang cepat dan tepat, yaitu di sekeliling lahan dibuat sekat baker, bahan kering dikumpulkan, dibakar dan ditunggui sampai api benar-benar padam. Dengan cara ini pembakaran tidak merembet ke tempat lain yang dapat mengakibatkan kebakaran lahan atau yang lebih parah adalah kebakaran hutan di luar batas desa. Dengan cara ini pula, gambut yang dibawahnya tidak ikut terbakar, sebab lahan gambut memerlukan panas yang cukup tinggi dan lama untuk terjadinya kebakaran bawah. Setelah pembakaran selesai dan sebelum terjadi kebakaran gambut, api telah dipastikan benar-benar padam. Seperti diketahui bahwa material lahan gambut adalah seresah bekas vegetasi yang belum sempurna mengalami fermentasi karena tergenang oleh air cukup lama. Pada saat air surut, lapisan gambut ini menjadi rentan terhadap kebakaran bawah yang banyak menimbulkan asap dan sulit dipadamkan. Pembakaran ini mereka lakukan sebagai langkah awal mengolah lahan. Untuk selanjutnya lahan garap ini mereka olah secara intensif dengan teknik pengolahan lahan tanpa bakar (zero burning). Seresah, bekas vegetasi dan semak kecil mereka olah menjadi pupuk kompos (bokasi) dengan menambahkan pupuk kandang, kapur dan beberapa mineral penunjang. Teknik ini telah terbukti sampai saat ini tidak mengakibatkan kerusakan lahan gambut atau mengakibatkan bencana kabut asap.

Lantas, apa hubungannya jagung bakar dengan kabut asap? Ada, tapi bukan karena asap jagung bakar penyebab kabut asap. Pada acara Lokakarya Desain Strategi Kampanye Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan yang dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah bekerja sama dengan South and Central Kalimantan Production Forest Project (SCKPFP) Uni Eropa beberapa waktu lalu, Kelurahan Kalampangan ditetapkan sebagai lokasi sasaran dan dilakukan kunjungan lapangan untuk menjajagi berbagai peluang bentuk kampanye yang tepat sasaran dan menarik perhatian masyarakat setempat. Pada saat itulah muncul ide membuat leaflet teknik pembakaran terkendali belajar dari kearifan tradisional masyarakat dan poster yang cukup menggelitik dengan gambar petani membawa jagung bakar dengan tulisan besar berbunyi : JAGUNG BAKAR SAMBAL TERASI, HUTAN TERBAKAR KITA RUGI…!Leaflet dan poster inilah yang sekarang tersebar di berbagai tempat, khususnya desa-desa yang rawan kebakaran hutan dan lahan, dengan harapan mereka dapat mengikuti apa yang telah diterapkan oleh petani Kalampangan dan agar berhati-hati dalam penggunaan api untuk menghindari bencana kebakaran hutan dan lahan yang hampir tiap tahun terjadi di wilayah Kalimantan Tengah yang diantaranya diakibatkan oleh kelalaian dan kecerobohan manusia dalam mengolah lahan dengan cara membakar tanpa kendali.

Begitulah, jagung bakar yang sering kita nikmati ternyata menyimpang kisah perjuangan seorang petani sejati, petani andalan yang telah malang melintang keluar Daerah dengan membawa nama harum Kalimantan Tengah. Namun itu semua tidak serta merta membuat para petani pelopor tersebut lupa diri, justru sebaliknya mereka merasa barhasil apabila teknik pengolahan lahan yang telah mereka terapkan dapat ditiru dan disesuaikan dengan kondisi setempat oleh masyarakat di desa-desa sekitarnya, bahkan di seluruh pelosok Kalimantan Tengah. Harapan itu sedikit banyak telah diupayakan melalui berbagai kegiatan pelatihan yang dilaksanakan oleh instansi terkait, termasuk Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah yang menyelenggarakan pelatihan pengolahan lahan tanpa baker dan pembakaran terkendali dengan mengembil tempat praktek lapangan di Kelurahan Kalampangan dan fasilitator Kontak Tani Andalan mereka.

Sekali lagi: Jagung Bakar Sambal Terasi…, Mengolah Lahan Tanpa Bakar bukan lagi basa basi…!


2 komentar:

icHaaWe mengatakan...

kukira bener2 ada ... orang yg makan jagung bakar pake sambel terasi...
jd pgn coba... enak kali yaahh???

BMX photo mengatakan...

kayaknya enak nih ^^!
nice info!